Abad ini sering sekali tedengar bahwa adanya pembagian ilmu umum dan ilmu agama. Adanya dikotomi ilmu ini menjadikan kultur yang berlatar belakang islami menjadi menjaga jarak terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat bermunculan di barat. Dari berbagai kemajuan teknologi yang ada, sering sekali terlihat kaum santri yang terlalu serius mendalami kitab kuning hingga menyampingkan ilmu-ilmu pengetahuan yang lebih cenderung keduniawiyan mengakibatkan pola pikir yag cenderung kolot dan terlalu taklid adanya. Namun jika ditelaah lebih dalam lagi sebenarnya tidak ada pembagian ilmu umum dan ilmu agama yang mana ilma umum yang dikategorikan dalam ilmu fisika, matematika, biologi dan sederet ilmu-ilmu yang diajarkan pada sekolah-sekolah umum, lha sedangkan ilmu hadist, tafsir, tasawuf, tauhid, nahwu shorof di kategorikan sebagai ilmu agama, lalu apakah semua ilmu-ilmu tadi tidak berasal dari Allah SWT (ilmu agama) sehingga adanya dikotomi ilmu dengan cabang-cabangnya?
Kalau kita mau menilik kebelakang tentang kemajuan peradaban islam masa silam, sangat jelas sekali Islam memiliki banyak sekali ilmuan dalam bidang ilmu keduaniawiyan, diantaranya ibn Sina yang terkenal dengan ilmu filsafat dan kedokterannya hingga menulis kitab Qonun fi at-thib yang mana kitab tersebut telah menduduki tempat terhormat dikalangan dokter di dunia, karena selain diandalkan didunia Islam sendiri saat itu, juga menjadi rujukan utama para mahasiswa kedokteran diberbagai universitas kedokteran Eropa. Lalu yang menjadi pertanyaan, bukankan peradaban Islam itu sendiri sudah memiliki dasar-dasar yang kuat (tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan)? Dapat ditarik benang merah, ternyata yang menjadi sekat dan kemunduran perdaban islam menurut beberapa pemikir dikarena sains dan filsafat berada dalam kelompok pengetahuan yang sama, yakni pengetahuan duniawi. Pemisahan ini pada akhirnya membatasi filsafat dan sains dalam mempertanyakan hal-hal di luar otoritasnya. Adanya keterbatasan ini berimplikasi pada berhentinya tradisi ilmiah di peradaban Islam sampai akhirnya semua tradisi ilmiah tersebut diimpor oleh bangsa Eropa beberapa abad kemudian.
Sangat jelas sekali adanya dikotomi keilmuan mengakibatkan dampak yang cukup mencengangkan mengingat adanya pembatasan wilayah-wilayah keilmuan. Jikalau saja khususnya pesantren-pesantren salaf yang banyak di Indonesia mau mendalami ilmu pengetahuan dan mengambil referensi kitab-kitab zaman dahulu dan tidak melulu mendalami ilmu keukhrawian tentunya peradaban Islam dapat bangkit kembali setelah tidur panjangnya, sehingga kaum pesantren yang tenar dengan sebutan kaum santri dapat mengikuti arus zaman modern dengan bekal keilmuan yang makin lengkap. Kemudian tidak menutup kemungkinan pendidikan yang dikenal dengan keformalannya yakni lembaga sekolah dapat mengadobsi pembelajaran kitab-kitab klasik khas pesantren yang mengedepankan keukhrawian sehingga output yang dihasilkan nantinya juga memiliki dasar pijakan moralitas dan keagamaan yang kuat.
0 komentar
Posting Komentar